Senin, 13 Februari 2012

Intiha Cinta Sang Kata

Kukisahkan padamu alun liris cerita biru

Pada suatu senja di langit yang hening memucat

Sang Pangeran Kata buruk rupa rapuh raga

Jatuh cinta pada batu yang disangka bunga.


Ia merayu batu yang tak kunjung mekar

“Dinda tanpa suara tapi hatiku mencinta.

Tanpa gerak gemulai namun jiwaku terbelai”,

bertahun bertahan dalam sabar yang purna

Sang Kata menghantar bara kata puja

pada padas berlumut beku di setiap ujung hari.


Dan senja pun akhirnya bergetar dalam jingga memerah di ufuk

Menghidupkan ajaib tangkai-tangkai nur cakrawala

Mengiris batu, membelah resah tahun-tahun bertudung rindu

Degup jantung Sang Kata seirama wajah ternganga

Menatap batu yang dicinta bagai agama merekah, perlahan


Dari batu menugu menyeruak yang telah lama ditunggu

Ia, sepasang tangan berkilau bilah pedang

Dengan mata seribu anak panah menghunjam hati Sang Kata

“Aku takdirmu dari tanah berantah yang terperangkap waktu.

Namun tugasku bukan melawan kala”,

takzim Sang Putri Batu merundukkan silang pedang di dada.


Sang Kata terbangkit dari kesima

Meletupkan baris kata-kata yang berakar di jiwa

“Tapi jantung ini, kekasihku

Hanya mengenali engkau sebagai belahan tubuhku”.

Kerinduan pada rupa suara kekasih

Menderas sungai kepada laut

Rangkum kepada hempas peluk yang tajam

Sang Kata melupa bilah pedang

Menembusi punggung menyayat jantung

Ia mati sebelum lahir anak-anak kalimat, paragraf dan cerita ini

menjelma janin cerita sempurna.